TRIBUTE TO HOMICIDE
DOWNDLOAD HERE
Yang Kangen sama Band rap "HOMICIDE"
nih gan sekilas tentang homicide... mudah - mudahan berguna buat yang suka : eperti yang banyak diakui orang, Homicide adalah sebuah anomali. Mereka adalah band hiphop yang lebih dikenal di scene hardcore/punk dibanding popularitas mereka di scene hiphop. Meski beberapa pelaku di scene hiphop indonesia mengakui bahwa Homicide adalah salah satu pioneer di tanah air, mereka tak cukup dikenal terutama oleh para anak-anak hiphop kemaren sore. Ini dikarenakan oleh Homicide sendiri yang sangat tidak peduli pada produktivitas materi. Untuk seukuran band seperti mereka yang sudah berumur hampir 10 tahunan, mereka terhitung sebagai band yang sangat pelit dalam menghasilkan materi. Lagu-lagu mereka hanya beredar dikalangan tertentu dan sangat sulit didapat, hanya ada di beberapa kompilasi dan demo yang sangat sukar ditemukan di „pasar‟. Tapi mereka terkenal karena hebatnya materi-materi itu sendiri. Legends live because they are that great. Meskipun sedikit tapi cukup membelalakkan mata orang, tak hanya penggemar hiphop tapi juga para penggemar genre lain, terlebih di scene punk/hardcore dimana mereka sering memberi cameo (featuring) di beberapa band underground Bandung dari Undercontrol hingga Balcony hingga Puppen. Tak boleh dilupakan pula, keterlibatan mereka di aktivisme, konsistensi mereka thd etos D.I.Y dan integritas mereka sebagai MC yang tak kenal kompromi dalam hal estetika hiphop, melahirkan anekdot lucu bahwa Homicide adalah band hiphop yang lebih „punk‟ dari band punk di Indonesia, sekaligus sebuah band punk yang lebih „hiphop‟ dari grup-grup hiphop di tanah air. Tak heran jika banyak orang yang menanti terlalu lama untuk album ini dan untungnya penantian itu berakhir memuaskan. Oke… langsung ke album. “Album ini bukan album artian sesungguhnya” begitu tulis Morgue Vanguard dalam liner notes pengantar CD ini. Dan memang demikian adanya. Album ini lebih merupakan dokumentasi karya mereka sejak formasi 3 MC & 1 DJ, hingga menyisakan Morgue Vanguard seorang (atau sosok yang lebih kita kenal sebagai Ucok). Semuanya 18 lagu, setengah dari EP mereka “Prosa Tanpa Tuhan” yang dijadikan materi split dengan Balcony, setengahnya lagi dari EP “Barisan Nisan” yang dibuat setelah Aszi (Sarkasz) meninggalkan Homicide, namun tidak jadi dirilis Ucok entah alasan kenapa, (kemungkinan besar masalah finansial). Sisanya single-single dari kompilasi dan satu demo mereka yang menggebrak di bawah tanah jaman Suharto dulu, “State of Hate” yang pernah masuk di album kompilasi band-band Bandung, “Brain Beverages”. Singkatnya album ini adalah “koleksi ‟sonic works‟ mereka selama 11 tahun eksistensi Homicide”, begitu penjelasan press release dari Subciety Records yang merilis album ini. Dokumentasi ini cukup memperlihatkan kita rangkaian evolusi musik mereka dan sekaligus menunjukkan integritas mereka sebagai MC dengan menembus batas-batas penulisan lirik hiphop dalam bahasa indonesia yang selama ini ada. Tak hanya layak diapresiasi sebagai „album hiphop‟ tetapi, dalam segi bentuk lirikal-nya sendiri, syair yang mereka buat adalah sebuah bentuk baru yang bisa diapresiasi sebagai „karya sastra‟ kalau kita berbicara pada wilayah pantun
dan puisi. Kecepatan flow mereka, delivery yang acak, kosakata yang bejibun dan cerdas, dan metafor yang tak lazim dan jelimet. Semuanya memang membuat materi mereka agak sulit dicerna awam dengan sekali mendengar. Majas pengandaian (metafor) yang dalam hiphop sering dipakai, oleh mereka tak dibiarkan tergeletak sebagai kepingan tunggal. Metafor itu tak hanya berbentuk „kata‟ namun dalam wujud bangunan kalimat solid yang sambung-menyambung tak bisa dipisahkan begitu saja sehingga tak bisa diartikan dalam satu penggalan dan saya jamin, akan menghasilkan orang-orang yang membenci mereka lebih benci lagi dengan mengutipnya setengah-setengah. Dari track satu ke lainnya, Homicide tak pernah kehilangan sentuhan yang membuat mereka terkenal: mengawinkan bahasa intelektual dengan bahasa terminal, plus balutan kosakata battle yang menghasilkan lirik-lirik mutan yang sulit dicari padanannya di khasanah hiphop dalam negeri. Pada lyric sheet mereka (yang super panjang) kalian akan menemukan kata „inkuisisi‟ dan „** SENSOR **‟ sekaligus dalam satu kalimat, atau mungkin „mediasi‟ dan „bondon‟ dalam satu verse. Saya ingin sekali memuat kutipan lirik mereka disini. Namun sialnya, hampir semua lirik mereka layak kutip. Jadi daripada tidak adil, saya sarankan lebih baik kalian buktikan saja sendiri dengan mendengarkannya. Dari materi awal mereka ketika Lephe masih bergabung, “Post Mortem Hiphop”, lagu manifesto mereka “Boombox Monger”, track kontroversial “Puritan”, hingga brengseknya “Semiotika Rajatega”, adalah bukti dari formasi duet MC paling maut di tanah Jawa; Ucok dan Aszi plus Iwan sebagai DJ mereka. Sedangkan 7 track terakhir membuktikan mengapa Ucok layak disebut frontman dan garda depan Homicide. Selain reputasi dirinya secara personal sebagai seorang individu kharismatik dan influential dengan segala aktivitasnya diluar Homicide yang sama ikonik-nya, ia membuktikan bahwa meskipun sendirian (dalam hal menulis lirik dan musik) ia tetap dapat menjaga Homicide tak kehilangan taringnya. Meski sudah beranak dua, Ucok tak kehilangan sedikit apapun. Buktikan saja dengan menyetel keras-keras track spoken words “Barisan Nisan” yang menggetarkan dan “Senjakala Berhala” yang menegakkan bulu kuduk jika di setel tengah malam hingga “Belati Kalam Profan” yang buas dan “Nekropolis”, track gila yang berisiknya minta ampun, menghadirkan guest vocal Addy Gembel, vokalis band death metal ternama, Forgotten, dari Bandung (ya betul, saya bilang death metal!!). Dengarkan juga lagu „perpisahan‟ ucok dengan Sarkasz yang meninggalkan Homicide berjudul „Membaca Gejala dari Jelaga”, sangat-sangat emosional, politis namun sangat personal. Juga cek lagu tribut Ucok bagi Widji Thukul, sang penyair favoritnya yang dihilangkan pemerintah di era Suharto. Pada “Sajak Suara” Ucok membaca puisi Thukul, berjudul sama, dengan sangat brutal. Tapi yang paling mengejutkan adalah lagu ber-titel “Rima Ababil” yang radio-friendly namun tak sedikitpun mengurangi bobot isinya. Ucok nge-rap dengan flow yang tak biasa dia pakai sebelumnya. Namun dengan sample suara Munir almarhum (menyebut militer sebagai orang-orang pengecut)
yang dipakai sebagai intro, lagu ini tak dijamin juga bisa diputar di radio-radio. Bisa saya bilang, semua materi tadi memiliki kekuatan magis yang membuat orang-orang yang tak suka musik hiphop atau tak suka politik harus terpaksa menaruh perhatian pada mereka. Namun karena begitu kuatnya lirik mereka, ada satu hal yang banyak luput dari perhatikan orang, bahwa musik Homicide adalah sebuah kekuatan tersendiri. Kalian dapat mendengarkan musik mereka tanpa harus terganggu dengan apa yang mereka bicarakan, menganggukkan kepala pada beat-beat mereka tanpa harus khawatir bosan dengan kalimat-kalimat mereka. Secara keseluruhan album ini pun membuktikan bahwa Homicide tidak peduli dengan trend beat yang menyapu dunia. Mereka konsisten dengan gaya hiphop awal 90-an mereka. Raungan sirine, noise, beat James Brown, dan loop hook yang dibiarkan kotor, mengingatkan kita pada kejayaan hiphop di era RUN DMC, Public Enemy, Gang Starr, atau EPMD dan Soul Assasins di akhir 80-an hingga pertengahan 90-an. Tak hanya berhenti disitu, mereka juga berhasil meminang sound dan sample dari musik-musik avantgardis seperti This Heat dan Godflesh, juga drones melodis menyayat ala Godspeed You! Black Emperor. Meski memberi album ini 4 bintang alias keren, Rolling Stone sama sekali salah jika mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan secara musikal bukanlah sesuatu yang baru! Peran Iwan sebagai DJ di hampir setiap track pun luar biasa. Meski Ucok yang menulis semua musik, kontribusi Iwan dalam membuat musik Homicide secara artistik menakjubkan tak bisa dilihat sebelah mata. Silahkan dengar “Belati Kalam Profan” dan versi remix dari “Boombox Monger” jika tak percaya. Pada kesimpulan akhir, “The Nekrophone Dayz” ini adalah kesempatan baik bagi mereka yang tak pernah mengenal Homicide untuk mendengarkan sendiri apa yang membuat mereka hebat dan se-legendaris yang dibicarakan orang. Dan bagi yang pernah dan tahu sosok mereka, ini dapat membuat kita cukup menempatkan mereka pada posisi yang seharusnya; sebagai salah satu grup musik terpenting yang pernah lahir di Indonesia.
nih gan sekilas tentang homicide... mudah - mudahan berguna buat yang suka : eperti yang banyak diakui orang, Homicide adalah sebuah anomali. Mereka adalah band hiphop yang lebih dikenal di scene hardcore/punk dibanding popularitas mereka di scene hiphop. Meski beberapa pelaku di scene hiphop indonesia mengakui bahwa Homicide adalah salah satu pioneer di tanah air, mereka tak cukup dikenal terutama oleh para anak-anak hiphop kemaren sore. Ini dikarenakan oleh Homicide sendiri yang sangat tidak peduli pada produktivitas materi. Untuk seukuran band seperti mereka yang sudah berumur hampir 10 tahunan, mereka terhitung sebagai band yang sangat pelit dalam menghasilkan materi. Lagu-lagu mereka hanya beredar dikalangan tertentu dan sangat sulit didapat, hanya ada di beberapa kompilasi dan demo yang sangat sukar ditemukan di „pasar‟. Tapi mereka terkenal karena hebatnya materi-materi itu sendiri. Legends live because they are that great. Meskipun sedikit tapi cukup membelalakkan mata orang, tak hanya penggemar hiphop tapi juga para penggemar genre lain, terlebih di scene punk/hardcore dimana mereka sering memberi cameo (featuring) di beberapa band underground Bandung dari Undercontrol hingga Balcony hingga Puppen. Tak boleh dilupakan pula, keterlibatan mereka di aktivisme, konsistensi mereka thd etos D.I.Y dan integritas mereka sebagai MC yang tak kenal kompromi dalam hal estetika hiphop, melahirkan anekdot lucu bahwa Homicide adalah band hiphop yang lebih „punk‟ dari band punk di Indonesia, sekaligus sebuah band punk yang lebih „hiphop‟ dari grup-grup hiphop di tanah air. Tak heran jika banyak orang yang menanti terlalu lama untuk album ini dan untungnya penantian itu berakhir memuaskan. Oke… langsung ke album. “Album ini bukan album artian sesungguhnya” begitu tulis Morgue Vanguard dalam liner notes pengantar CD ini. Dan memang demikian adanya. Album ini lebih merupakan dokumentasi karya mereka sejak formasi 3 MC & 1 DJ, hingga menyisakan Morgue Vanguard seorang (atau sosok yang lebih kita kenal sebagai Ucok). Semuanya 18 lagu, setengah dari EP mereka “Prosa Tanpa Tuhan” yang dijadikan materi split dengan Balcony, setengahnya lagi dari EP “Barisan Nisan” yang dibuat setelah Aszi (Sarkasz) meninggalkan Homicide, namun tidak jadi dirilis Ucok entah alasan kenapa, (kemungkinan besar masalah finansial). Sisanya single-single dari kompilasi dan satu demo mereka yang menggebrak di bawah tanah jaman Suharto dulu, “State of Hate” yang pernah masuk di album kompilasi band-band Bandung, “Brain Beverages”. Singkatnya album ini adalah “koleksi ‟sonic works‟ mereka selama 11 tahun eksistensi Homicide”, begitu penjelasan press release dari Subciety Records yang merilis album ini. Dokumentasi ini cukup memperlihatkan kita rangkaian evolusi musik mereka dan sekaligus menunjukkan integritas mereka sebagai MC dengan menembus batas-batas penulisan lirik hiphop dalam bahasa indonesia yang selama ini ada. Tak hanya layak diapresiasi sebagai „album hiphop‟ tetapi, dalam segi bentuk lirikal-nya sendiri, syair yang mereka buat adalah sebuah bentuk baru yang bisa diapresiasi sebagai „karya sastra‟ kalau kita berbicara pada wilayah pantun
dan puisi. Kecepatan flow mereka, delivery yang acak, kosakata yang bejibun dan cerdas, dan metafor yang tak lazim dan jelimet. Semuanya memang membuat materi mereka agak sulit dicerna awam dengan sekali mendengar. Majas pengandaian (metafor) yang dalam hiphop sering dipakai, oleh mereka tak dibiarkan tergeletak sebagai kepingan tunggal. Metafor itu tak hanya berbentuk „kata‟ namun dalam wujud bangunan kalimat solid yang sambung-menyambung tak bisa dipisahkan begitu saja sehingga tak bisa diartikan dalam satu penggalan dan saya jamin, akan menghasilkan orang-orang yang membenci mereka lebih benci lagi dengan mengutipnya setengah-setengah. Dari track satu ke lainnya, Homicide tak pernah kehilangan sentuhan yang membuat mereka terkenal: mengawinkan bahasa intelektual dengan bahasa terminal, plus balutan kosakata battle yang menghasilkan lirik-lirik mutan yang sulit dicari padanannya di khasanah hiphop dalam negeri. Pada lyric sheet mereka (yang super panjang) kalian akan menemukan kata „inkuisisi‟ dan „** SENSOR **‟ sekaligus dalam satu kalimat, atau mungkin „mediasi‟ dan „bondon‟ dalam satu verse. Saya ingin sekali memuat kutipan lirik mereka disini. Namun sialnya, hampir semua lirik mereka layak kutip. Jadi daripada tidak adil, saya sarankan lebih baik kalian buktikan saja sendiri dengan mendengarkannya. Dari materi awal mereka ketika Lephe masih bergabung, “Post Mortem Hiphop”, lagu manifesto mereka “Boombox Monger”, track kontroversial “Puritan”, hingga brengseknya “Semiotika Rajatega”, adalah bukti dari formasi duet MC paling maut di tanah Jawa; Ucok dan Aszi plus Iwan sebagai DJ mereka. Sedangkan 7 track terakhir membuktikan mengapa Ucok layak disebut frontman dan garda depan Homicide. Selain reputasi dirinya secara personal sebagai seorang individu kharismatik dan influential dengan segala aktivitasnya diluar Homicide yang sama ikonik-nya, ia membuktikan bahwa meskipun sendirian (dalam hal menulis lirik dan musik) ia tetap dapat menjaga Homicide tak kehilangan taringnya. Meski sudah beranak dua, Ucok tak kehilangan sedikit apapun. Buktikan saja dengan menyetel keras-keras track spoken words “Barisan Nisan” yang menggetarkan dan “Senjakala Berhala” yang menegakkan bulu kuduk jika di setel tengah malam hingga “Belati Kalam Profan” yang buas dan “Nekropolis”, track gila yang berisiknya minta ampun, menghadirkan guest vocal Addy Gembel, vokalis band death metal ternama, Forgotten, dari Bandung (ya betul, saya bilang death metal!!). Dengarkan juga lagu „perpisahan‟ ucok dengan Sarkasz yang meninggalkan Homicide berjudul „Membaca Gejala dari Jelaga”, sangat-sangat emosional, politis namun sangat personal. Juga cek lagu tribut Ucok bagi Widji Thukul, sang penyair favoritnya yang dihilangkan pemerintah di era Suharto. Pada “Sajak Suara” Ucok membaca puisi Thukul, berjudul sama, dengan sangat brutal. Tapi yang paling mengejutkan adalah lagu ber-titel “Rima Ababil” yang radio-friendly namun tak sedikitpun mengurangi bobot isinya. Ucok nge-rap dengan flow yang tak biasa dia pakai sebelumnya. Namun dengan sample suara Munir almarhum (menyebut militer sebagai orang-orang pengecut)
yang dipakai sebagai intro, lagu ini tak dijamin juga bisa diputar di radio-radio. Bisa saya bilang, semua materi tadi memiliki kekuatan magis yang membuat orang-orang yang tak suka musik hiphop atau tak suka politik harus terpaksa menaruh perhatian pada mereka. Namun karena begitu kuatnya lirik mereka, ada satu hal yang banyak luput dari perhatikan orang, bahwa musik Homicide adalah sebuah kekuatan tersendiri. Kalian dapat mendengarkan musik mereka tanpa harus terganggu dengan apa yang mereka bicarakan, menganggukkan kepala pada beat-beat mereka tanpa harus khawatir bosan dengan kalimat-kalimat mereka. Secara keseluruhan album ini pun membuktikan bahwa Homicide tidak peduli dengan trend beat yang menyapu dunia. Mereka konsisten dengan gaya hiphop awal 90-an mereka. Raungan sirine, noise, beat James Brown, dan loop hook yang dibiarkan kotor, mengingatkan kita pada kejayaan hiphop di era RUN DMC, Public Enemy, Gang Starr, atau EPMD dan Soul Assasins di akhir 80-an hingga pertengahan 90-an. Tak hanya berhenti disitu, mereka juga berhasil meminang sound dan sample dari musik-musik avantgardis seperti This Heat dan Godflesh, juga drones melodis menyayat ala Godspeed You! Black Emperor. Meski memberi album ini 4 bintang alias keren, Rolling Stone sama sekali salah jika mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan secara musikal bukanlah sesuatu yang baru! Peran Iwan sebagai DJ di hampir setiap track pun luar biasa. Meski Ucok yang menulis semua musik, kontribusi Iwan dalam membuat musik Homicide secara artistik menakjubkan tak bisa dilihat sebelah mata. Silahkan dengar “Belati Kalam Profan” dan versi remix dari “Boombox Monger” jika tak percaya. Pada kesimpulan akhir, “The Nekrophone Dayz” ini adalah kesempatan baik bagi mereka yang tak pernah mengenal Homicide untuk mendengarkan sendiri apa yang membuat mereka hebat dan se-legendaris yang dibicarakan orang. Dan bagi yang pernah dan tahu sosok mereka, ini dapat membuat kita cukup menempatkan mereka pada posisi yang seharusnya; sebagai salah satu grup musik terpenting yang pernah lahir di Indonesia.